24 C
Kudus
2 December 2023
spot_img

Perajin Blenyik Jepara Nikmati Musim Produksi

Jepara, Kudusnews.id – Berhadapan pada dua sisi para-para, Sarmi dan seorang kerabatnya memanfaatkan bayangan pohon waru untuk berteduh sambil bekerja.

Mengepal ikan teri yang sudah dicampur sedikit garam, keduanya membentuk ikan teri itu menjadi jumputan-jumputan kecil, lalu ditata dalam barisan rapi. Setelah para-para penuh lalu dijemur. Jumputan ikan asin berbahan ikan-ikan kecil ini oleh masyarakat Jepara dikenal dengan nama blenyik atau tempong.

Sepelemparan batu dari mereka, Kusniatun bersama dua anggota keluarganya bekerja dalam kelompok berbeda. Di samping perahu yang entah sudah berapa lama teronggok di tepi pantai, mereka juga duduk di sekeliling para-para. Bedanya, Kusniatun dan keluarganya tak hanya membuat blenyik. Di antara barisan para-para milik mereka, ada yang digunakan untuk menjemur udang rebon. Pada saatnya, rebon ini akan diolah menjadi terasi.

Sebagai ibu rumah tangga nelayan, Sarmi dan Kusniatun yang tinggal di sekitar muara sungai Mlonggo sudah sangat terbiasa dengan pekerjaan ini. Musim kemarau adalah saat yang bersahabat bagi mereka. Memanfaatkan waktu untuk membuat blenyik, terasi, atau juga ikan asin, ibu-ibu nelayan ini bisa membantu perekonomian keluarga.

“Kalau cuaca begini pekerjaan kami lebih cepat. Beberapa hari lalu, kan, awal kemarau masih sesekali turun hujan. Jadi sepanjang ada bahan yang kami dapat, ya, kami maksimalkan untuk produksi,” kata Kusniatun saat bercerita di tengah aktivitasnya belum lama ini.

Kusniatun yang tinggal RT 30 RW 6 Desa Jambu, Kecamatan Mlonggo menuturkan, musim kemarau adalah waktu yang tepat untuk menggenjot produksi. Terasi misalnya. Stok yang biasanya didapat selama musim kemarau, dapat menopang kekurangan produksi karena terhambatnya proses penjemuran di musim penghujan.

“Selain yang terjual setiap hari, stok semusim kemarau bisa di atas 1 ton. Jadi kalau musim penghujan produksinya sedikit, kami bisa tetap menjual stok yang kami dapatt selama kemarau. Tidak masalah menyimpan terasi sampai musim berikutnya. Saya baru menumbuk rebon menjadi terasi saat benar-benar sudah kering. Bisa disimpan hingga 1 tahun,” terang Kusniatun.

Saat ini saja, dia mengaku sudah punya lebih dari 20 sak terasi setengah jadi atau krakalan. Terisi penuh, masing-masing sak bisa berisi 25 kilogram. Artinya sudah lebih dari 400 kilogram terasi krakalan yang dia stok.

Tinggal di kampung nelayan, Kuniatun tak kesulitan mendapat pasokan rebon meski jumlahnya tak terlalu melimpah. Nelayan setempat banyak yang membuat anco dan bagang yang mereka gunakan untuk berburu hasil laut.

“Kalau musim kemarau begini rebon saya dapat dari orang mbagang,” terang Kusniatun.

Berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dalam terminologi masyarakat nelayan setempat dan sekitarnya, anco dan bagang adalah sejenis rumah-rumahan yang didirikan di laut. Sedangkan teknik penangkapan yang dilakukan dari anco atau bagang disebut dengan mbranjang. Sebutan ini berasal dari kata branjang, yaitu jaring penangkap ikan segi empat dengan rangka bambu, digunakan dengan cara dibenamkan ke air lalu diangkat ke permukaan setelah berisi hasil tangkapan.

Sedangkan pada musim penghujan, tambah Kusniatun, rebon didapat dari nelayan yang menggunakan teknik ngentol. Dalam keseharian masyarakat nelayan Jepara, kata entol digunakan untuk menyebut sejenis jaring pukat kecil yang dioperasikan tanpa perahu. Nelayan setempat mendorong entol ke sana kemari di perairan dangkal untuk berburu rebon.

Kusniatun dan para pembuat terasi setempat mengaku tak kesulitan menjual hasil produksinya. Penjual dari pasar di Mlonggo, Bangsri, Jepara, dan sekitarnya secara berkala mendatangi mereka untuk kulakan terasi, blenyik, dan ikan asin. Demikian juga dengan pembeli untuk kebutuhan rumah tangga, perantau yang sedang pulang ke Jepara, hingga mereka yang sesekali perlu mengirim produk tersebut ke luar daerah.

“Mereka sudah jadi pelanggan karena tahu benar rasanya. Terasi kami berbahan udang rebon seratus persen. Kami buat dengan cara ditumbuk. Jadi kalau ada campurannya akan terlihat jelas,” katanya.

Di tempat produksi, pembeli bisa mendapat terasi hanya dengan harga Rp35 ribu per kilogram. Harga ini memungkinkan penjual di pasar sudah mendapat untung saat menjual terasi berbentuk peluru ukuran 250 gram dengan harga sekitar Rp12 ribu, bahkan Rp10 ribu.

“Sedangkan blenyik, kami jual dalam hitungan 24 wilangan. Tidak kami timbang, mewarisi cara yang dilakukan orang tua kami secara turun-temurun,” kata Kusniatun.

Satu wilangan dalam hitungan Jawa berisi 5. Sehingga pembuat blenyik setempat mengemas hasil produksinya sebanyak 120 per plastik.

“Blenyik teri nasi kami jual Rp50 ribu per plastik. Teri biasa di bawah itu. Di pasar, pedagang mengambil untung secukupnya,” terangnya.

Tidak bisa dibilang banyak. Namun keuntungan berproduksi dan menjual dengan harga itu, bagi ibu-ibu nelayan setempat sudah sangat disyukuri. (Sumber Pemkab Jepara-03)

Related Articles

- Advertisement -spot_img