Jepara, Kudusnews.id – Duduk lesehan di teras rumahnya, Santi Yunita sibuk memasang beberapa bagian mainan dorong.
Tangannya begitu cekatan saat memasang ban, memasang karet dan stik, memastikan posisi roda penggerak, memotong sisa as, hingga mengelem pengunci roda. Proses itu hanya memakan waktu beberapa detik. Pekerjaan itu dia lakukan sambil mengasuh anaknya yang baru berusia empat tahun.
Di Desa Karanganyar, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, pemandangan seperti yang terlihat di rumah Santi Yunita adalah hal biasa. Hampir semua keluarga di desa ini berada dalam mata rantai produksi berbagai macam mainan anak. Meski hanya dikerjakan di sela pekerjaan domestik, kerajinan ini mampu menggerakkan ekonomi desa.
Meski membuat mainan sederhana, Santi hanya menempati salah satu mata rantai produksi. Tidak satu pun warga di desa itu menyelesaikan pembuatan mainan seorang diri. Padahal produk yang dihasilkan bermacam-macam. Selain mainan dorong, ada kitiran, lele-lelean, ikan-ikanan, dan berbagai mainan tarik yang lain.
“Bagian per bagian dikerjakan oleh orang yang berbeda,” kata warga RT 4 RW 2.
Sebelum pemasangan bagian-bagian di atas, Santi telah membungkus bagian pegangan mainan dorong itu dengan kertas hologram, lalu memasang trotokan, bagian yang mengeluarkan bunyi trotok-trotok saat mainan itu didorong. Setelah semua bagian yang menjadi pekerjaannya terpasang, Santi memutar roda untuk memastikan trotokan berbunyi. Karena bunyi inilah, di beberapa daerah mainan ini disebut dengan trotokan dorong.
“Sebelum di antar ke saya, sudah ada pekerja bagian bambu. Pekerjaannya mulai dari membelah, membentuk, hingga mewarnai bambu. Baru diantar kepada saya. Di sini, setelah semua terpasang, nanti diambil bosnya. Dipindah ke orang lain yang akan memasang aksesoris,” kata Santai menerangkan mata rantai pekerjaan tersebut.
Aksesoris yang dimaksud Santi adalah karakter yang menarik bagi anak-anak. Biasanya terbuat dari spon yang telah dibentuk dan dicat warna-warni. Bentuknya menyesuaikan karakter yang sedang disukai anak-anak.
“Kalau saat ini, ya, Tayo, Upin—Ipin, dan sebagainya. Ada juga yang berbentuk jago. Dulu pernah Teletubbies, Sponge Bob, dan sebagainya,” cerita Santi.
Bisa dilakukan di sela pekerjaan domestik, Santi menikmati pekerjaan tersebut. Sambil bekerja, dia tetap bisa mengurus rumah dan mengasuh anak. Hampir semua warga desa itu terjun langsung di industri kerajinan ini. Hal itu sangat memengaruhi perekonomian desa.
“Tidak seperti karyawan pabrik, Mas. Tapi, kan, tetap bisa momong dan melakukan pekerjaan rumah,” demikian Santi Yunita menjawab pertanyaan mengenai besaran upahnya.
Dihitung borongan per 1000 item, ibu rumah tangga di desa ini rata-rata mendapat upah puluhan ribu, tergantung kecepatan dan jenis pekerjaannya.
“Kalau Bapak-Bapak, rata-rata nilai borongannya setelah menyelesaikan pekerjaan di atas Rp100 ribu per hari,” kata Ketua Kelompok Perajin Kitiran Mekar Jaya, Sumarno, saat menerima Gelora di rumahnya pada hari yang sama.
Dalam jumlah yang bervariasi di masing-masing keluarga, kata Sumarno, uang yang berputar dari seluruh mata rantai produksi kerajinan mainan anak sangat mempengaruhi perekonomian desanya. Apalagi, lebih dari 80 persen keluarga di desa ini terlibat di sektor usaha kerajinan ini.
“Kalau berkunjung ke desa kami seperti ini, kan, bisa melihat langsung. Setiap 10 rumah, setidaknya ada 8 rumah yang terlibat dalam pekerjaan produksi mainan anak-anak,” kata Sumarno yang menyebut angka 550-an saat ditanya jumlah keluarga di desanya.
Hitungan itu belum termasuk warga yang berada di lini penjualan, baik di toko mainan, pedagang keliling, pengusaha, hingga pedagang online yang mengirim pesanan ke berbagai daerah.
“Di sini banyak juga keluarga yang suami—istri sama-sama bekerja. Istri kerja borongan di rumah, suami berjualan produk ke luar kota. Ada yang pulang setiap hari, ada yang beberpa hari baru pulang. Kalau menjual langsung seperti ini malah pendapatannya bisa ratusan ribu dan tidak terikat dengan orang lain. Lebih dari 20 orang yang memilih bekerja dengan pola ini,” kata Sumarno. (Sumber Pemkab Jepara-03)